Tampilkan postingan dengan label POLITIK. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label POLITIK. Tampilkan semua postingan

Senin, 18 Februari 2013

Hantu Ikut njoblos....


Wah kalau ini benar-benar terjadi bisa ngeri, ada yang aneh dalam Daftar Pemilih Sementara (DPS) pemilihian Gubernur Jawa Tengah. Pasalnya dalam lembaran DPS tersebut tertulis nama-nama pocong, kuntilanak, vampir dan nama-nama hantu lainnya. Nama-nama itu sempat tercatat di Data Penduduk Pemilih Potensial Pemilu (DP4) Kelurahan Mayahan, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobogan, untuk pemilihan gubernur (Pilgub) Jateng 2013. Karena jelas tidak benar, nama itu kini sudah dicoret bersamaan dengan dua juta nama lain yang tidak sesuai dengan data sebenarnya.
Para hantu tersebut berada di urut 4567 hingga 4576 dengan urutan seperti berikut: Gundul Pecengis, Kolor Ijo, Tuyul, Suster Ngesot, Setan Kredit, Kuntilanak, Pocong, Dhemit dan Vampir.

Dalam daftar, mereka juga ditulis berjenis kelamin laki-laki, ditulis lahir antara tahun 1901 hingga 1912, dan bertempat lahir di kuburan. Salah satu hantu, Dhemit, disebut lahir di Grobogan. Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Jawa Tengah, Fajar Subhi AK Arif mengatakan, pihaknya tidak mengetahui bagaimana nama-nama hantu bisa muncul di DP4 karena ia memperoleh data dari pemerintah. "Saya kurang paham kenapa muncul nama itu di DP4, kami menerima dari pemerintah. Kalau kami menemukan data yang tidak memenuhi ya dicoret," kata Fajar saat ditemui di kantornya, Jl Veteran Semarang, Senin (18/2/2013). Ia menambahkan nama-nama fiktif dan sejumlah data yang tidak sesuai kini tidak muncul lagi di DPS. Dalam DP4 tertera jumlah 29.629.952 pemilih, namun setelah dilakukan proses rekapitulasi DPS sekarang menjadi 27.415.706 pemilih. "Otomatis (nama hantu) itu hilang, yang sudah meninggal dan pindah sudah tidak muncul di DPS," jelas Fajar. DPS fiktif ini merupakan bukti carut marutnya proses Pilgub Jateng. Bukan tidak mungkin ada nama-nama lain yang fiktif dalam Pilgub. Jika sudah demikian masihkan rakyat percaya dengan pesta demokrasi?

Selasa, 29 Januari 2013

Umat Islam harus pilih Ideologi Islam.


Pasca runtuhnya komunis, masyarakat dunia saat ini dihadapkan hanya pada dua pilihan ideologi, yakni ideologi Islam atau demokrasi. Hal ini sudah diakui dan disadari oleh para pemikir-pemikir dari Barat. “Dan umat Islam seharusnya memilih sistem Islam. Apalagi sistem demokrasi ternyata bertentangan dengan Islam,” ucap Pengamat Politik Universitas Sumatera Utara (USU), Warjio, MA, Kamis (24/1), pada acara Halaqah Islam dan Peradaban yang digelar Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di convention hall Food Court, Jalan Amaliun Medan. Jika ditelusuri kembali literatur, katanya, ternyata terminologi demokrasi itu masih dipersoalkan oleh para intelektual politik Barat. Istilah ini digunakan hanya untuk mengakomodir pemikiran terkait dengan kebebasan beragama, transparansi, kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi dan partisipasi politik.

Namun kenyataannya, sistem yang sekarang ini dijalankan justru sistem demokrasi. “Itu makanya saya katakan, demokrasi sebenarnya merupakan pilihan yang buruk dari yang terburuk,” ucap Dosen Perbandingan Ilmu Politik, Fisip USU ini. Ketua HTI Sumut, Muhammad Yusran Ramli menyebutkan bahwa kenyataan dunia saat ini, bahwa sistem demokrasi telah membawa kesengsaraan bagi seluruh umat manusia, terlebih bagi umat Islam. Banyak kezaliman yang terjadi, misalnya pembunuhan massal yang dilakukan pemerintahan Barat terhadap perempuan dan anak-anak di sejumlah negara, seperti Palestina, Irak, Afghanistan dan beberapa negara Islam lainnya. Penghilangan nyawa orang-orang tidak berdosa itu mengatasnamakan kepentingan tegaknya demokrasi. Yusran juga memaparkan fakta tentang agenda asing dibalik baju demokrasi yang digunakan oleh para pembebek asing itu.

Sementara, Sekretaris MUI Sumut, Prof Dr Hasan Bakti Nasuition, MA, mengatakan, bahwa selama ini ada dua ideologi besar yang mempengaruhi dunia. Yakni ideologi sosialis (komunis) dan ideologi kapitalis (demokrasi). Namun diantara dua ideologi ini memiliki kelemahan sehingga beberapa pemikir termasuk dari Islam yang mencoba mengawinkan dua ideologi itu sehingga terbentuklan idelogi baru yang disebut neo-demokrasi. Ideologi baru itu dianggap sempurna karena menutupi kelemahan dua ideologi sebelumnya.
Ustadz Fatih al Malawy dalam paparannya menyebutkan tentang keharaman dan kekufuran sistem demokrasi. Pemahaman bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan telah menyebabkan nilai-nilai kebenaran menjadi sangat subjektif. Jika sebagian besar umat menganggap sebuah keburukan itu sebagai kebaikan, maka keburukan itu akan menjadi baik.

“Ini kan bertentangan dengan Islam. Padahal, sebagai umat Islam kita harus melandaskan nilai sesuatu itu benar atau tidak, baik atau buruk harus menurut ukuran  Alquran dan al Hadist, bukan berapa banyak orang yang setuju,” ucapnya.

Sabtu, 26 Januari 2013

Pemilu Capres 2014 : Perang Bintang



Pemilihan Presiden (Pilpres) masih lama, namun gemanya sudah mulai terdengar. Genderang pun sudah ditabuh, sejumlah nama pun sudah mulai diusung. Para pengamat mulai menganalisis dan tak ingin ketinggalan, para pinisepuh pun mulai mengasah ketajaman dan keakurasian ramalan Joyoboyo, yang oleh sebagian kecil kalangan masyarakat etnis Jawa diyakini memiliki akurasi mencapai 80 persen.

Jika Pilpres 2014 dikaitkan-kaitkan dengan mitos Notonegoro yang ditafsirkan sebagai nama akhir pemimpin Indonesia. NO (Soekarno), To (Soeharto), Ne; bukan orang Jawa (Habibie), Goro; ribut-ribut (terbukti dengan terpilihnya Abdurrahman Wahid yang kemudian digantikan Megawati). Terus balik lagi ke No (Susilo Bambang Yudhoyono).

Jika mengikuti ramalan Joyoboyo, bahwa no-to-ne-go-ro, maka nama yang muncul berakhir dengan -no-. Sukarno, -to- Soeharto, kemudian kembali ke -no- di saat Megawati menjadi Presiden sebab namanya Megawati Soekarno, lalu SBY yang namanya juga akhirnya -no-. Maka bisa ditaksirkan masih akan lama lagi muncul pemimpin yang diramalkan oleh Joyoboyo sebagai Satria Piningit yang adil dan memakmurkan rakyat. Sebab pemimpin Indonesia yang memimpin alih-alih balik kembali ke nama yang akhirnya -no- dan -to-.

Jika tahun 2014 nanti muncul nama calon yang berakhiran -to- bisa diramalkan dia akan menjadi pemimpin RI selanjutnya. To yang ditafsirkan dalam ramalan Joyoboyo tersebut boleh jadi Prabowo Subianto-Wiranto-Joko Suyanto-atau Endriartono Sutarto, yang entah secara kebetulan atau tidak, keempat nama ini sudah dipromosikan dan bakal bersaing. Kempat nama yang didengungkan sebagai tafsir Joyoboyo tersebut adalah para mantan jenderal.

Ini menarik, karena tiga jenderal yakni Prabowo Subianto, Wiranto dan Endriartono Sutarto sudah menyatakan diri maju dalam Pilpres 2014. Sementara To yang satu lagi, yakni Joko Suyanto masih malu-malu mengakuinya. Menariknya lagi, Survei LSI sempat merilis Prabowo Subianto memperoleh 67%, suara responden yang dibuat LSI, kemudian Endriartono Sutarto 63%, Djoko Suyanto 63%, Wiranto 63%. Pengamat politik dari Charta Politika Yunarto Wijaya berpendapat, nama-nama seperti Prabowo Subianto, Wiranto dan Endriartono Sutarto memiliki karakter kepemimpinan yang berbeda. Meski begitu diyakini hanya Endriartono yang dinilai memiliki track record lebih baik di antara Prabowo dan Wiranto.

"Memang Prabowo dan Wiranto tidak lepas dari kasus-kasus masa lalu. Kalau ditelaah, karir milter Endriartono tidak terlalu kontroversial," katanya.

Meski diyakini memiliki track record lebih baik, Endriartono belum bisa menyaingi kepopuleran Prabowo dan Wiranto. Endriartono masih jauh di bawah kepopuleran Prabowo dan Wiranto, sekalipun dia kini berada di bawah bendera Partai NasDem.

"Problemnya pengenalan publik terhadap Endriartono masih rendah sehingga popularitasnya juga rendah," tambahnya.

Potensi perang bintang di Pilpres 2014 memang sangat besar. Hal ini diakui juga oleh Direktur Eksekutif lembaga survei Indo Barometer, M Qodari. Perang bintang itu tak hanya Wiranto, Prabowo tapi ada dua jenderal lain, yakni Endriartono Sutarto dan Djoko Suyanto bakal menjadi pesaing hebat. Marsekal TNI (Purn) Djoko Suyanto yang saat ini menjabat sebagai Menko Polhukam memang kerap disebut-sebut masuk bursa capres 2014.

Meski Djoko yang pernah menjabat sebagai Panglima TNI ini berulangkali menyatakan tak berambisi nyapres di 2014. Sementara Endriartono Sutarto baru saja bergabung dengan Partai NasDem. Memang Endriartono belum dipastikan maju di Pilpres 2014. Namun kehadiran mantan Panglima TNI ini ke NasDem menambah hangatnya suasana politik menuju Pemilu 2014. "Pertama, karena Endriartono adalah figur eks Panglima TNI yang bersih, cerdas dan berwibawa diharapkan menjadi vote getter dan kalau popularitasnya tinggi bisa didorong jadi capres atau cawapres dari Nasdem," katanya. Meski masih sangat kecil, namun peluang jenderal bintang empat yang akrab disapa Pak Tarto ini menuju Pilpres 2014 ini masih ada. Apalagi jika pencapresan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto tak bisa dibendung.

"Peluang Tarto didorong Nasdem jadi capres besar jika Prabowo betul-betul maju karena akan muncul pemikiran: lawan jenderal ya dengan jenderal juga," katanya.

Mayoritas publik mengasosiasikan sikap tegas tokoh dengan latar belakang TNI. Dengan fakta itu, maka menunjukkan bahwa dua orang mantan jenderal, yakni Prabowo dan Wiranto adalah sosok yang lebih tegas dari nama-nama capres lain yang beredar. Dengan demikian wajar jika keduanya menjadi pilihan utama publik menghadapi Pilpres 2014.

Direktur Eksekutif Lembaga Survei Nasional (LSN), Umar S. Bakry pernah menyebutkan indikator persepsi publik terhadap sosok capres yang tegas identik dengan tokoh berlatar belakang TNI, memperlihatkan bahwa mayoritas publik masih mengharapkan Presiden RI 2014-2019 adalah figur berlatar belakang TNI. Umar menambahkan, saat LSN menanyakan kepada responden beberapa kombinasi capres dan cawapres, hasilnya kombinasi pasangan capres berlatar belakang TNI dan cawapresnya orang sipil, lebih banyak disukai dan disetujui sebanyak 73,5 persen responden, sedangkan yang mengaku setuju terhadap capres sipil dan cawapresnya berlatar belakang TNI hanya 64,7 persen.
Lalu di luar Prabowo dan Wiranto, apakah ada tokoh berlatar belakang TNI lainnya yang berpeluang meramaikan kontestasi dalam Pilpres 2014? Kata Umar, peluang itu kecil.

"Saat kami sebutkan kepada responden sejumlah nama jenderal kemudian kami tanyakan, siapa di antara mereka yang paling layak menjadi presiden menggantikan SBY? Hanya nama Prabowo dan Wiranto yang mendominasi. Sebanyak 29,9 persen responden menyebut nama Prabowo dan 29,1 persen memilih Wiranto," ungkapnya.

Dari hasil itu, sangat mungkin terjadi tokoh berlatar belakang TNI yang dipersepsikan publik memiliki sikap tegas, akan dominan dalam Pilpres 2014 mendatang. Bahkan peluang untuk terjadinya “perang bintang” dalam final atau putaran kedua Pilpres 2014 cukup terbuka. (*)

Jumat, 25 Januari 2013

PARTAI NASDEM PECAH

Partai yang merupakan sempalan Partai Golkar yaitu Nasdem, yang kemudian diplesetkan Nasdem alias Nasi Adem (Nasi Basi), nampaknya mengalami nasib yang bakal getir. Belum lagi pemilu digelar sudah mengarah kepada kebangkrutan.
Lahirnya Nasdem hanyalah akibat dari kegagalan Surya Palon merengkuh kepemimpinan Golkar, ketika berlangsung Munas di Pekanbaru, beberapa waktu lalu. Di mana Surya Paloh gagal mengalahkan Aburizal Bakrie. Surya bersama sejumlah tokoh Golkar mendirikan partai yang baru, dan diberi nama : Nasional Demokrat alias Nasdem.
Mula-mula Surya Paloh yang sudah menjadi pecundang itu, mengatakan tak akan maju menjadi pemimpin Partai Nasdem. Tetapi, kemudian sekarang ambisi Surya Paloh itu, mencuat dan ingin menjadikan Nasdem sebagai kendaraan politik, dan ikut berlaga di tahun 2014.
Dengan modal media yang dimilikinya, ia yakin Nasdem bakal kebanjiran pendukung. Apalagi, partai-partai politik yang ada sudah mengalami pembusukan yang akut. Surya Paloh berpikir inilah momentumnya maju dan akan mendapatkan dukungan rakyat.
Bersamaan dengan tergalangnya tokoh-tokoh kawakan Golkar, seperti Fery Mursyidan Baldan dan Syamsul Maarif (almh), Nasdem akan bangkit dan dapt mengalahkan Golkar dan menjadi alternatif.
Bersamaan dengan itu, masuk Hary Tanoe, tokoh muda, pengusaha keturunan Cina,  yang sudah malang melintang, dan bahkan mentake over usaha keluarga Cendana, dan ingin pula memiliki kenderaan politik. Tanoe sudah ingin menjadi pemimpin nasional, dan mewakili puak keturunan Cina maju ke gelanggang politik di era demokrasi ini.
Maka terjadilah kolaborasi antara si "brewok" Surya Paloh yang memiliki media Metro TV dan Koran Media Indonesia dengan Hary Tanoe, yang menjadi raja media, seperti RCTI dan MNC, serta kekuatan bisnisnya ingin merengkuh kekuasaan. Tetapi, partai sempalan Golkar itu, diujung sudah mulai cakar-cakaran dan busuk dari dalam akibat ambisi masing-masing pengurus atau elitnya.
Nampaknya Nasdem yang ingin menjadi kenderaan politik mantan para elite Golkar itu, tersandung perpecahan di dalam. Mula-mula Sultan Hamengku Buwono mengundurkan diri, dan sekarang di susul oleh Hary Tanoe, dan juga berbagai wilayah, ketuanya mengundurkan diri, seperti Rustam dari DPW Jawa Barat.
Nasdem akan jauh lebih sekuler dan sangat liberal, dan pasti akan sangat anti Islam. Dua tokohnya Surya Paloh dan Tanoe, yang keduanya berlatar belakang tokoh, yang sangat tidak memiliki kepedulian terhadap Islam, dan pasti akan lebih menghancurkan lagi, dibandingkan dengan partai-partai yang ada. Nasdem hanya akan dijadikan kendaraan politik bagi Surya dan Tanoe.
Untungnya keduanya pecah kongsi. Tetapi, sekarang partai politik itu, ibarat seperti rental mobil, yang bisa disewa oleh siapa saja, dan tentu dengan membayar, serta tak perlu capek-capek mendirikan partai politik baru. Cukup nempel di partai yang sudah ada dengan sejumlah "doku" (uang).
Pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah Saleh Daulay mengatakan, partai dengan struktur menengah lebih pas buat Hary Tanoe. Sebab, untuk partai besar, Hary Tanoe akan susah untuk meminta posisi yang tinggi.

Orang seperti Tanoe itu, sekarang ini hanya mencari dukungan politik, dan menjadikan kekuasaan sebagai arena  bermain lebih luas, terutama dalam rangka melakukan penguasaan terhadap asset negara, dan masuk dalam  jalur kekuasaan guna mengamankan bisnisnya. Tak ada yang lain. Bukan akan memperjuangkan nasib rakyat. Semua hanya lah bohong belaka.
Tentu, hengkangnya Tanoe tak sulit mendapatkan kendaraan baru. Banyak partai "rental" yang siap menampung Hary Tanoe. Apalagi dengan masuknya Tanoe, tentu akan mendapatkan tambahan "gizi" alias "fulus" yang akan digunakan memutar roda partai.
"Sejauh yang saya amati, banyak partai yang menyatakan sudah bersedia menerima HT. Katakanlah, misalnya, partai Golkar, PAN, Hanura, Demokrat, dan saya kira juga partai lain. Sekarang tinggal HT yang akan memutuskan sesuai dengan pertimbangan di atas," kata Saleh. af ( VOA-ISLAM)

Rabu, 09 Januari 2013

SISTEM KEPARTAIAN DI ERA REFORMASI






 KATA PENGANTAR


Puji syukur senantiasa kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kita masih diberikan kesehatan, kesempatan dan kekuatan sehingga kami mampu untuk menyelesaikan penulisan  yang berjudul  SISTEM KEPARTAIAN DI ERA REFORMASI dalam mata kuliah PENGANTAR ILMU POLITIK . Sengaja kami mengambil judul diatas karena ketertarikan kami akan sistem kepartaian di era reformasi serta bagaimana peran dan fungsi partai politik pada era reformasi.
Makalah ini juga merupakan Tugas Akhir Semester I. Karena keterbatasan literatur maka masih banyak kekurangan-kekurangan dalam penyusunan makalah ini sehingga masukan dari Dosen Pembimbing sangat kami harapkan supaya kami dapat meningkatkan wawasan intelektual serta pemahaman kami akan  ilmu politik.
Akhir kata, tiada gading yang tak retak, demikian pula dengan makalah ini, masih jauh dari ke sempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang dapat membangun tetap kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Penulis: Heru Wiranto
NIM : 121312059






BAB  I
PENDAHULUAN

1.    LATAR BELAKANG

Politik di Indonesia telah menempatkan partai politik sebagai pilar utama penyangga demokrasi. Artinya, tak demokrasi tanpa partai politik, partai politik secara mendasar adalah sebuah organisasi atau institusi yang mewakili beberapa golongan  dari masyarakat yang memiliki tujuan yang sama, yang kemudian bersama-sama berusaha untuk mancapai tujuan tersebut. Oleh karena itu dalam sebuah negara yang demokrasi partai politik adalah sebuah lembaga yang memiliki peranan yang penting dalam negara demokrasi khususnya pada masa sekarang atau masa setelah reformasi.
Perubahan yang menonjol pada sistem kepartaian di era reformasi dibanding era sebelumnya  adalah besarnya peran partai politik dalam pemerintah, keberadaan partai politik sangat erat dengan kiprah para elit politik, mengerahkan massa politik, dan kian mengkristalnya kompetisi memperebutkan sumber daya politik.
Hakikat reformasi di Indonesia adalah terampilnya partisipasi penuh kekuatan – kekuatan masyarakat yang disalurkan melalui partai – partai politik sebagai pilar demokrasi. Oleh karena itu tidak heran dengan adanya UU No. 2 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan dengan UU No. 31 Tahun 2002 yang memungkinkan lahirnya partai – partai baru dalam percaturan kepartaian di Indonesia.
Harapannya adalah dengan kehadiran banyak partai itu jangan sampai justru menambah ruwetnya sistem pemerintahan NKRI. Ruwetnya pemerintahan ini mengakibatkan bangsa Indonesia akan banyak mengalami kendala untuk segera keluar dari krisis multidimensi yang sudah berjalan.
Partai politik memiliki tanggung jawab yang besar dalam membawa perubahan negara pada kondisi yang lebih baik dan keluar dari krisis multidimensi. Untuk mewujudkan hal tersebut, partai politik ( parpol ) tidak perlu menganggap parpol lain sebagai musuh, karena tidak akan menyelesaikan persoalan yang ada. Sebab tantangan yang sesungguhnya bukan ada di parpol lain tetapi pada parpol itu sendiri.



2.    RUMUSAN MASALAH

1.    Sistem kepartaian apa yang dianut oleh negara Indonesia di era reformasi
2.    Apa kelebihan dan kekurangan dari sistem kepartaian di era reformasi
3.    Apakah sistem kepartaian yang dianut sekarang sudah sesuai harapan bangsa Indonesia
4.    Bagaimana  peranan partai penguasa/pemenang pemilu dan partai oposisi di era reformasi

3.    TUJUAN PENULISAN
  •  Mengetahui dan memahami sistem kepartaian yang dianut oleh Indonesia di era reformasi
  •  Mengetahui dan memahami kekurangan/kelebihan dari sistem kepartaian di era reformasi
  •  Mengetahui dan memahami fungsi dan peranan partai politik di era reformasi




BAB II
PEMBAHASAN


1.    PENGERTIAN PARTAI POLITIK

Secara umum Partai Politik adalah suatu organisasi yang disusun secara rapi dan stabil yang dibentuk oleh sekelompok orang secara sukarela dan mempunyai kesamaan kehendak, cita-cita, dan persamaan ideologi tertentu dan berusaha untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan melalui pemilihan umum untuk mewujudkan alternatif kebijakan atau program-program yang telah mereka susun.
Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 pengertian partai politik adalah sebuah lembaga nasional yang diidentifikasikan sebagai lembaga yang mengedepankan kepentingan politik anggota-anggotanya. Partai politik juga merupakan organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2.   TUJUAN PARTAI POLITIK

Partai Politik memiliki tujuan dan fungsi yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, yaitu ;
a.    Tujuan Umum Partai Politik adalah :
  • Mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  • Menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; 
  • Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan    rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
  •  Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
b.      Tujuan khusus Partai Politik adalah:
 
  • Meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan; 
  • Memperjuangkan cita-cita Partai Politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan
  • Membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

3.   FUNGSI PARTAI POLITIK

Pada umumnya, para ilmuwan politik biasa menggambarkan adanya 4 (empat) fungsi partai politik. Keempat fungsi partai politik itu menurut Miriam Budiardjo, meliputi sarana :

a.      Parpol sebagai sarana komunikasi politik

Komunikasi politik adalah proses penyampaian informasi politik dari pemerintah kepada masyarakat dan sebaliknya dari masyarakat kepada pemerintah. Parpol disini berfungsi untuk menyerap, menghimpun (mengolah, dan menyalurkan aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan suatu kebijakan.

b.  Parpol sebagai sarana sosialisasi politik

Sosialisasi politik adalah proses pembentukan sikap dan orientasi politik mengenai suatu fenomena politik yang sedang dialami suatu negara. Proses ini disampaikan melalui pendidikan politik. Sosialisai yang dilakukan oleh parpol kepada masyarakat berupa pengenalan program-program dari partai tersebut. Dengan demikian, diharapkan pada masyarakat dapat memilih parpol tersebut pada pemilihan umum. 

 c.   Parpol sebagai sarana rekrutmen politik

Rekrutmen politik adalah proses seleksi dan pengangkatan seseorang atau kelompok untuk melaksanakan sejumlah peran dalam sistem politik ataupun pemerintahan. Atau dapat dikatakan proses seleksi dan pengangkatan seseorang atau kelompok untuk menduduki suatu  jabatan ataupun beberapa jabatan politik ataupun mewakili parpol itu dalam suatu bidang.  Rekrutmen politik gunanya untuk mencari orang yang berbakat ataupun berkompeten untuk aktif dalam kegiatan politik.

d.   Parpol sebagai sarana pengatur konflik

Pengatur konflik adalah mengendalikan suatu konflik (dalam hal ini adanya perbedaan pendapat atau pertikaian fisik) mengenai suatu kebijakan yang dilakukan pemerintah. Pengendalian konflik ini dilakukan dengan cara dialog, menampung dan selanjutnya membawa permasalahan tersebut kepada badan perwakilan rakyat (DPR/DPRD ) untuk mendapatkan keputusan politik mengenai permasalahan tadi.

Adapun dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 pasal 11 ayat 1 disebutkan bahwa fungsi partai politik adalah sebagai sarana:
•Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar
 akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
•Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa indonesia untuk kesejahteraan 
  masyarakat.
•Penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan
  kebijakan negara.
•Partisipasi politik warga negara Indonesia, dan
•Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan
  memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. 

4.    PERAN PARTAI POLITIK  DI ERA REFORMASI

a.    Sistem Kepartaian, Kelemahan dan Kelebihanan

Sistem kepartaian ialah pola perilaku dan interaksi diantara sejumlah partai politik dengan kata lain sistem kepartaian adalah pola kompetisi terus-menerus dan bersifat stabil, yang selalu tampak di setiap proses pemilu tiap negara. Sistem kepartaian bergantung pada jenis sistem politik yang ada di dalam suatu negara. Selain itu, ia juga bergantung pada kemajemukan suku, agama, ekonomi, dan aliran politik yang ada. Semakin besar derajat perbedaan kepentingan yang ada di negara tersebut, semakin besar pula jumlah partai politik. Selain itu, sistem-sistem politik yang telah disebutkan, turut mempengaruhi sistem kepartaian yang ada. Sistem kepartaian belumlah menjadi seni politik yang mapan. Artinya, tata cara melakukan klasifikasi sistem kepartaian belum disepakati oleh para peneliti ilmu politik. Namun, yang paling mudah dan paling banyak dilakukan peneliti adalah menurut jumlah partai yang berkompetisi dalam sistem politik.
Sistem kepartaian di era reformasi mengunakan sistem multi partai atau lebih spesifik lagi pada era reformasi menggunakan sistem multi partai ekstrem, kenapa multi partai ekstrem ? karena disebabkan banyaknya partai yang bermunculan. Sistem ini banyak dituding oleh para ahli tidak sesuai dengan perkembangan partai politik. Dengan kemudahan pendirian partai, banyak partai bermunculan tetapi tidak disertai kualitas kelembagaan partai yang baik.  Persoalan tersebut ditambah lagi dengan sistem kepartaian tidak kompatibel dengan sistem pemilu. Kedua sistem tersebut tidak saling menopang sebagai satu kesatuan sistem, sehingga tidak tercapai harmonisasi antara maksud dan tujuannya untuk menyokong efektifitas sistem pemerintahan presidensial. Disharmoni tersebut,  berdampak pada pemilu 2009 misalnya, menyebabkan biaya pemilu mahal, tingginya suara tidak sah, kecurangan dan pelanggaran pemilu tinggi, kerumitan dalam rekapitulasi, tingginya sengketa hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi, konstelasi politik yang selalu berubah-ubah, dan munculnya pemilih yang tidak setia.
Selain itu, dampak yang timbul juga berimbas pada pelaksanaan sistem presidensial yang ada di Indonesia. Sebab, sistem presidensial tidak kompatibel dengan sistem multipartai ekstrem. Idealnya untuk sistem presidensial menggunakan sistem multipartai sederhana sehingga jumlahnya tidak lebih dari 5 partai politik. Dampak lain seperti sistem presidensial tidak kompatibel dengan pelembagaan partai politik yang lemah. Sistem presidensial juga tidak kompatibel dengan dengan sistem pemilu terbuka murni yang disproporsional. Sistem multipartai ekstrem itu, mengakibatkan capaian produk legislasi rendah. Sebab, semakin banyak tarik ulur kepentingan parpol yang harus diakomodasi bukan justru untuk kepentingan publik. Sistem multipartai ekstrem itu pula menimbulkan tekanan politik yang justru melemahkan presiden. Contoh yang nyata adalah SBY tampak sebagai sosok peragu. Walau secara kepribadian dia tidak begitu. Tapi tidak kuasa untuk menggunakan kekuasaannya. Justru malah dikendalikan oleh parpol. Contoh yang lain adalah hampir semua pengangkatan jabatan seperti kapolri, gubernur BI, Mahkamah Agung, ketua KPK, menteri sampai wakil menteri harus minta persetujuan DPR. Padahal, mereka ditunjuk untuk bekerja untuk presiden. Mereka bertanggung jawab kepada presiden.
Dari uraian diatas, jelas sekali sistem kepartaian di era reformasi mempunyai banyak kekurangannya di banding kelebihannya. Kelebihan sistem kepartaian di era reformasi antara lain dapat mengakomodir keanekaragaman budaya politik masyarakat, perbedaan ras, agama, dan suku. Walau banyak kelemahannya sistem multi partai ekstrem masih dipertahankan oleh pemerintah hingga sekarang, contoh nyata penggunaan sitem multi partai ekstrem, pada Pemilu tahun 2014 yang akan datang, parpol yang mendaftar dan diverifikasi KPU berjumlah 34 parpol, tetapi yang memenuhi syarat hanya 10 parpol.

b.    Harapan Bangsa Indonesia terhadap sistem kepartaian di era reformasi

Partai politik di era reformasi belum dapat berperan menjadi institusi publik yang menunjukkan tanggungjawabnya terhadap pemilihnya. Di era orde baru partai politik menjadi mesin politik penguasa sehingga lebih diarahkan pada kepentingan pelanggengan status quo. Sedangkan saat memasuki reformasi partai politik dihadapkan pada tuntutan dan harapan masyarakat yang begitu besar, sementara partai politik belum siap dengan kelembagaan yang baik.
Terdapat sejumlah faktor yang membuat tingkat kelembagaan partai belum berkembang dengan baik. Partai-partai yang ada umunya relatif baru sehingga infrastruktur partai belum terbangun dengan baik. Selain itu partai-partai kerap mengalami konflik yang menguras tenaga dan waktu sehingga tidak ada waktu untuk membagun pelembagaan partai politik. Elite-elite partai pun belum menjadikan AD/ART sebagai satu-satunya aturan dalam mengelola partai politik. Ditambah lagi tradisi berpartai yang menghormati perbedaan budaya politik demokrasi di kalangan elite partai belum tumbuh. Unsur patrimonialisme dan bahkan feodalisme masih kuat di kalangan elite partai. Tingkat kepercayaan dan harapan masyarakat terhadap partai politik sangat kurang dikarenakan partai politik tidak mampu memainkan fungsinya dengan optimal. Partai-partai politik tidak memiliki kemampuan mengerahkan dan mewakili kepentingan warga negara maupun menghubungkan warga negara dengan pemerintah. 

c.    Peran Partai penguasa dan Oposisi
  •  Peran Partai Penguasa
kondisi partai politik penguasa era reformasi yang pada awalnya diharapkan mampu mendobrak budaya dan sistem kepartaian yang tidak sehat (absurd), ternyata mengalami hal yang sama kala orde baru berkuasa. Sebab, sistem kepartaian yang kita jalankan masih dipenuhi dengan kepentingan politik penguasa sebagaimana yang terjadi pada masa orde baru. Partai pemenang pemilu/partai penguasa nyata-nyata terbelenggu - atau bahkan dibelenggu - oleh kepentingan elite-elite partai dan kelompok-kelompok tertentu. Sehingga independensi, kredibilitas dan proporsionalitas suatu partai politik sulit untuk diciptakan, bahkan partai terkesan menjadi alat legitimasi bagi penguasa.
Kondisi partai seperti ini tentu cukup apatis terhadap persoalan rakyat dan cenderung tidak aspiratif. Partai penguasa era reformasi cenderung arogan, eksklusif dan diskriminatif. Kondisi partai seperti ini tentu saja telah memunculkan kesan bahwa partai hanya menjadi alat "pemburu kekuasaan". Akibatnya, aktivitas yang dilakukan sebuah partai hanya sebatas dalam upaya untuk meraih kekuasaan formal kenegaraan (public office). Dalam situasi seperti ini tentu saja kita sulit mengharapkan munculnya sebuah partai politik yang programatik, ideal dan berorientasi pada kepentingan rakyat sesungguhnya, apalagi untuk membangun sebuah masyarakat sipil (civil society) yang tangguh, baik secara ekonomis dan politis.

  • Peran Partai Oposisi
Peran dan posisi Partai oposan dalam mengisi reformasi boleh dikata mengalami kegagalan total. Banyak hal yang menjadi kendala kegagalan oposisi politik  di Indonesia selama ini. Misalnya soal format oposisi yang ideal, yang sangat berpengaruh pada pembentukan mental oposan. Oposisi di Indonesia boleh dibilang 'makhluk baru' yang bergulir seiring dengan euforia reformasi pasca-1998. Sehingga, sampai sekarang oposisi yang sejati di sepanjang perjalanan negeri ini belum ada bukti. Banyak hal yang menjadi kendala, mulai dari tidak ada format oposisi yang ideal yang siap untuk diterapkan. Di sisi lain partai politik yang bertekad menjadi barisan oposisi selama ini juga tidak berpijak pada landasan ideologi atau format visi-misi yang sama sehingga sangat sulit membangun kekuatan oposisi yang solid.
Selain itu, oposisi gagal, karena oposisi masih dipahami sebatas mengeritik atau menolak kebijakan pemerintah yang tidak populis tanpa disertai solusi kebijakan alternatif yang bisa ditawarkan kepada pemerintah. Sebagai gambaran, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), boleh dibilang merupakan partai oposisi pertama di parlemen. Hal itu terjadi sejak kekalahan Megawati pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2004. Kala itu, PDIP merangkul Golkar, PDS, dan PPP dalam Koalisi Kebangsaan.
 Namun seiring perubahan peta politik, koalisi itu pun melempem. Koalisi hanya tinggal PDIP dan PDS yang tersisa dari unsur Koalisi Kebangsaan setelah Golkar dan PPP banting setir menjadi partai pendukung pemerintah SBY (Susilo Bambang Yudhoyono). Koalisi kebangsaan berupaya mempengaruhi kebijakan pemerintah SBY. Ketika harga BBM dinaikkan pada Maret dan Oktober 2005, namun pengaruh oposisi waktu itu ternyata tidak sekuat pengaruh partai pro-pemerintah yang sempat menamakan diri Koalisi Kerakyatan.
Partai oposisi seharusnya membangun demokrasi yang mempunyai check and balances yang sesungguhnya, memberikan solusi atau jalan keluar yang konkret tentang sesuatu yang dikritisi. Partai oposisi  di Indonesia sebenarnya mendapat ruang gerak yang jauh lebih bebas dan luas setelah reformasi, tetapi politik oposisi dari para oposan, politik tidak mengalami kemajuan yang substansial. Artinya, dengan system politik yang sekarang, oposisi politik yang seharusnya lebih efektif dimainkan parpol dan politikus, tidak mungkin terinstitusionalisasi. Ini menjadi salah satu pekerjaan rumah yang harus dipikirkan untuk amendemen UUD 1945 di masa yang akan datang.


BAB III
PENUTUP


1.    KESIMPULAN

Agar parpol berfungsi baik harus ada penguatan kelembagaan parpol supaya menjadi institusi demokrasi yang kuat dan berjalan dengan optimal. Upaya penguatan seperti penguatan platform partai, kaderisasi, rekrutmen politik, dan menciptakan kohesivitas internal partai adalah hal-hal yang harus segera dilaksanakan. Perlunya penaatan partai politik kedepan baik dari dalam maupun dari luar. Dari dalam, partai politik harus membuat konstitusi partai yang benar-benar mencerminkan bagaimana fungsi partai dijalankan agar partai berjalan lebih demokratis. Sementara penataan dari luar melalui kontrol dari masyarakat yang jelas serta melalui proses perundang-undagan.

Perlunya dilakukan perubahan terhadap UU Kepartaian dan UU pemilu untuk sistem multipartai sederhana yang maksimal diikuti 5 partai. Sistem itu harus low cost dan efisien, pemisahan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah serta harus dilakukan kodifikasi terhadap UU Politik karena setiap akan pemilu selalu ada revisi UU.

2.    SARAN/PENDAPAT

Bagaimanapun juga partai politik harus mampu mengakomudir kepentingan rakyat secara komprehensif demi terciptanya demokratisasi di Indonesia. Agar harapan partai politik benar-benar menjadi tulang-punggung rakyat dan agar tercipta sistem kepartaian yang fair play maka kiprah partai harus dikembalikan pada fungsinya, yakni sebagai sarana sosialisasi kepentingan rakyat dan bukan sebagai sarana sosialisasi kepentingan penguasa. Karena Partai politik pada pokoknya memiliki kedudukan dan peranan yang sengat penting dalam setiap sistem demokrasi, maka partai politik merupakan sarana penyalur atau penghubung antara pemerintah sebagai wakil rakyat dengan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Sistem kepartaian yang digunakan Indonesia di era reformasi  adalah system multi partai, yang didorong karena keanekaragaman budaya politik masyarakat. Sistem kepartaian ini sesuai dengan keadaan Indonesia yang beraneka ragam. Tetapi perlu diperhatikan pula pertumbuhan partai maupun partai yang sudah ada, harus diusahakan tidak terlalu banyak karena bila terlalu banyak, tidak akan efektif untuk pemerintahan (terlalu banyak partai, terlalu banyak koalisi, maka terlalu banyak kepentingan yang dibawa partai, sehingga kadang kepentingan rakyat akan dikalahkan oleh kepentingan –kepentingan partai tersebut).


DAFTAR PUSTAKA :

-    http://id.shvoong.com/law-and-politics/politics
-    http://hitamandbiru.blogspot.com/2012
-    Portal Uneversitas Gajah Mada @Universitas  Gajah Mada
webugm@ugm.ac.id
-    World Brain di 06:14
-    red-uns.ac.id
-    http://www.jurnalpublik.com