Selasa, 05 Februari 2013

Sekilas Masa Di Timnas




Mungkin belum banyak yang tahu, saya sudah non-aktif menjabat National Team Corporate Secretary sejak September 2012 dan tepatnya Desember 2012, baru secara resmi saya melayangkan surat resign kepada PSSI (dalam bentuk e-mail langsung kepada exco timnas, sekjen pssi dan bendahara pssi). Sejujurnya, saya sudah mulai tidak betah bekerja di sana sejak pertengahan tahun. Saya mendapati banyak miskomunikasi selama disana yang membuat saya selalu kesal. Mungkin akan saya runut ceritanya agar lebih mudah dipahami.

Saya melepas jabatan media officer kira-kira pada bulan desember 2011 dan mulai menjabat corporate secretary di januari 2012, bentuknya masih dalam Surat Keputusan. Sebagai seseorang yang sudah terbiasa kerja dalam sistem profesional, saya yang paling sering menyuarakan keberatan dengan sistem SK. Saya kerap meminta kontrak, namun jawaban yang saya dapat selalu, "sedang diurus". Saya bertanya kepada atasan langsung di timnas, jawaban juga selalu sama. Ada yang aneh disini, saat kami mengajukan nilai gaji, tidak pernah sekalipun kami dipanggil menghadap bagian legal dan sekjen PSSI untuk mematangkan ikatan kerja dan nilai gaji. Namun mendadak setelah menyerahkan nominal gaji yang diharapkan, saya begitu saja mendapat transfer gaji setiap bulan. Sempat saya bertanya, "kenapa mereka tidak memanggil untuk negosiasi?", namun seluruh manajemen timnas juga tidak paham alasannya. Saya menerima gaji saya setiap bulan, namun tetap cerewet menanyakan kontrak saya, jamsostek, asuransi kesehatan dan PPH karena saya tidak puas dengan SK.

Karena mencoba memahami situasi baru (pengalihan kepengurusan di federasi), saya selalu memaksa diri saya untuk toleran. Saya menunggu dan menunggu sembari bekerja semaksimal mungkin. Bahkan saya dan teman seringkali tidak libur untuk terus mengurus timnas berbagai lapisan. Agenda timnas adalah sesuatu yang seringkali membuat saya kesal. Saya tidak pernah paham skala prioritas PSSI dalam mengikuti turnamen biasa dan turnamen wajib, namun rupanya semua kebijakan masih diatur secara politis. Katakan, keikutsertaan di Palestina. Kondisi keuangan saat itu berdarah-darah dan selanjutnya ada agenda wajib timnas. Betul bahwa kita harus terus mengasah kemampuan dengan sebanyak mungkin beruji coba. Namun bagaimana pengaturan skala prioritas keuangan timnas? Administrasi pengurusan visa dan lain-lain?

Bulan Maret tepatnya adalah saat saya mulai kecewa luar biasa. Saya ditugaskan atasan meng-handle 3 timnas yang harus melakukan TC di Jogja bersamaan dan dalam waktu panjang, senior, U-23 dan U-17. Sudah tiba disana, keuangan PSSI belum bisa mencairkan DP 3 hotel. Akhirnya, berbekal negosiasi mati-matian dan karena saya ikut merasa malu jika agenda tersebut cacat, saya negosiasi (tanpa bantuan PSSI) untuk bekerja sama dengan 3 hotel sekaligus, katakan hotel X, Y dan Z. Sewaktu itu saya berlandaskan informasi bagian keuangan bahwa timnas senior bisa range harga sekian. Kala itu, hotel di Jogja teramat penuh agenda. Saya memberanikan diri datang ke 2 hotel bintang 4, meeting dua kali, dan saya berhasil mendapat harga dibawah range hotel bintang 3. Anggap saja, jika seharusnya sejuta ke atas, saya berhasil menego hingga 325ribu untuk paket kamar, 3x makan, 2x coffee break, satu set laundry, fitness centre dan meeting room. Saya lega, dan akhirnya mengajukan ke keuangan. Namun uang belum cair, padahal TC akan dimulai dalam waktu 3 hari ke depan dan saya sudah harus mengirim surat panggilan ke klub. Saya datang lagi, setengah mati negi, akhirnya dengan baik hati pihak hotel memberikan jaminan masuk tanpa DP terlebih dahulu. Ini jarang-jarang terjadi di dunia perhotelan. Masuk tanpa DP. Apalagi ada upgrade kamar untuk pelatih kepala sebagai hadiah. Semua sudah berjalan. Pemain masuk, muncul kasus baru bahwa ISL menolak melepas pemainnya, padahal saya sudah diminta mendaftarkan nama mereka. Tarik-ulur terus terjadi sehingga pergantian nama dan pengurusan visa pun amburadul. Misal si pemain X konon akan datang, di batas waktu mendadak batal, atau harus pulang, cedera, dll. Sehingga pengurusan administratif ke Palestina jadi semakin ruwet. Apalagi mengurus ke Palestina susah dan sudah diingatkan federasi di sana bahwa harus secepat mungkin. Sebagian belum memiliki atau belum memperpanjang passport. Setiap ada masalahh pergantian pemain, mendadak saya harus mereka ulang pengurusan administratif pemain ke luar negri. Kondisi TC memang keluar masuk dan banyak kejadian tidak diharapkan sehingga membuat list pemain membengkak. Sudah list pemain membengkak, eh officials dan tamu juga daftarnya membengkak. Kalo dihitung-hitung bisa mencapai 75 orang yang sudah saya daftarkan melalui mbak Farina (ini pengurus PSSI yang baik dan memang sangat rajin). Usaha nego untuk membuat passport cepat berhasil, eh dokumen pemain kurang lengkap. Bolak-balik meminta dokumen (ada yg hilang, ada yg di kampung dll) kerap terjadi. Belum masalah lapangan, pengurusan tiket pemain dan officials keluar masuk, daftar reimburse dana, uji tanding, kualitas makanan hotel, obat-obatan dokter, masalah laundry, sampai hal sekecil-kecilnya menjadi tanggung jawab saya di sana seorang diri. Di hotel lain, tim lain juga mulai seleksi pemain. Jadi saya sempat kewalahan. Asisten saya baru datang kira-kira 3 minggu sesudahnya untuk saya harapkan membantu saya di U-23 juga. Semua dilakukan dengan tenggat waktu yang terbatas. Jika ada satu saja missed, maka pengolahan ulang data harus terrjadi. Makanya saya terkadang sangat emosional jika menonton pertandingan timnas, karena sedemikian saya tahu proses di baliknya.

Well, saat saya sendiri dan kewalahan, mencoba fokus, saya kerap berrtanya-tanya dalam hati, "mengapa ke Palestina harus pergi dan TC lama padahal bisa untuk konsentrasi laga wajib?", " Mengapa kesulitan dana tapi mengundang pejabat untuk ikut bersama rombongan?", "Mengapa event tidak resmi digelar di luar agenda wajib memaksa pemain harus ke Jogja padahal turnamen tengah berjalan?", "Mengapa tidak ada ketegasan soal agenda timnas dari atasan - mana yang harusnya oke mana yang belum sanggup untuk diikuti?". Tapi namanya juga saya cewek, bagi mereka mungkin masih hijau, anak baru kemarin sore, jadi tidak akan didengar. Jadi saya jalankan saja dengan berdarah-darah. Bayangkan, seringkali mepet pengurusan visa berlangsung dengan pengurusan booking tiket dan pengurusan akomodasi di hotel luar berjalan bersamaan. Saya dan mbak Farina (PSSI) sudah berusaha setengah mati, ternyata dampai H-1 saja masih ada pergantian personil. Atasan tidak mau tahu kesulitannya seperti apa, tapi tetap minta dibawa. Toh akhirnya paham pas di Jordan susah masuk ke Palestina kan? Mereka sudah diingatkan kami tapi keras kepala. Belum lagi ketegasan uang saku kerap berubah. Informasi kepada pemain menjadi simpang-siur. Siapa yang kena getahnya? Yah manajemen yang sedang di TC, Sampai sekarang saya yakin miskomunikasi atasan dan PSSI soal uang saku harus tidak lagi terjadi. Karena bukan mereka yang tengah berhadapan dengan rombongan di TC.

Syukurnya pak Lamdelif (bagian keuangan timnas) dan Citra (asisten saya) akhirnya tiba. Saya yang sudah lelah akhirnya terhibur. Mereka sangat membantu di U-23 dan U-17 dan berdedikasi. Alhasil, saya dan mbak Farina (juga Ariel) berhasil memberangkatkan rombongan, meski banyak masalah terjadi. Sampai di Jordan dan Palestina pun saya dan mbak Farina masih harus sering menelpon kesana pagi-siang-sore-malam dengan ponsel pribadi untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di sana dengan cepat. Saya yakin sekjen Palestina, Susan, sudah bosan dengan suara dan permintaan tolong saya dari Indonesia. Bayangkan, sudah sampai sedemikian rupa mengikuti kebijakan labil, saya masih didera bocoran ada yang mengatakan, "kenapa kok 2 pemain dan manager tertahan di Jordan? Desy dan Farina ngurusnya gimana?". Emosi, iya. Sudah dibilang harus jelas dari sebelum-sebelumnya, tetapi memasukkan nama baru bisa H-1 dan H-2? memangnya kami dewa? Memangnya Israel mudah di-lobby? Perlu kalian ketahui bahwa masalah seperti ini kerap terjadi. Saya pernah menolak ke Jepang karena waktu itu harus mengorbankan kitman (orang yang harusnya justru berada bersama tim), tak dinyana kitman tetap berangkat belakangan dan bermasalah. Oh well... Saya tidak pernah setuju jika banyak pejabat ikut rombongan. Malu dengan negara lain yang efisien.

Nah, problem kekecewaan saya akarnya disitu. Setelah dari Palestina, ternyata penyelesaian hotel tidak terurus. Saya sudah minta invoice hotel untuk diselesaikan segera karena mereka begitu baik, tapi juga tidak diselesaikan. Saya sampai malu kepada teman-teman pihak hotel. Padahal, mereka begitu baik sampai ada beberapa yang menawarkan bonus biaya hotel ke kantong pribadi saya karena membangun kerja sama (yang tentunya saya tolak). Saya sih dapat uang cukup dari gaji dan uang saku saja, seadanya tapi gak akan bermasalah. Mereka juga memberi diskon terhadap PSSI, tapi juga tidak dibayar. Ini berlangsung hingga bulan September lalu kalau tidak salah. Para orang-orang baik itu menjadi tumbal masalah dana PSSI, dampaknya jelas jajaran petinggi mereka di hotel menekan mereka terus-menerus. Saya turut sedih, tapi tidak bisa bersuara lagi. Saya sangat kecewa dengan PSSI. Yng lebih buat saya kaget, ada yang komplain dengan biaya di Jogja yang sedemikian tinggi. Lah wong di sana 3 tim dan lebih dari sebulan. Katanya seharusnya timnas di wisma saja. Jujur, saya sudah cari wisma kala itu untuk junior tapi tidak ada yang kosong. Ada satu yang kosong tapi tanggalnya bolong-bolong. Jadi timnas harus masuk-keluar di tanggal-tanggal tertentu. Semua sudah dilakukan, tetap alasan tunggak pembayaran adalah mahal. Saya bengong, nanya, "loh, mereka kemana saja pas nego awal? Kan sudah disampaikan kondisinya? Lalu itu dapat hotel bintang 4, setengah mati didiskon ampun-ampunan sampai harga paketnya di bawah 350 ribu fullboard kok masih keberatan belakangan?.

Di Filipina (kebetulan saya ikut rombongan), juga saya pernah kesal sekali. Saya kebetulan kenal dengan match commissioner, David di laga wajib tersebut, dia adalah sahabat teman saya Jayric. Dia bilang kepada saya setelah technical meeting, "Desy, Indonesia tidak akan nambah orang di bench kan? Soalnya Indonesia sering begitu, yah saya cuman mau mengingatkan saja...Kalau bisa tetap dengan maksimal 8", yang saya jawab, "maafkan saya jika kondisinya sering seperti itu, tapi tidak akan terjadi lagi". Tahunya seorang pejabat PSSI mendatangi saya besoknya minta ID card bench untuk kedubes. Saya bilang saya usahakan di royal box. Namun dia keukeuh minta ID bench. Sampai akhir saya nggak kasih, tapi ternyata dia masuk ke lapangan sebelum pertandingan dimulai dan bersama kedubes duduk di sana. Dengan segala hormat, KBRI kita Filipina sangat membantu, namun saya bingung dengan permintaan petinggintersebut yang bagi saya lebay. Saya saja tidak pernah mau duduk di bench. Ngapain? Mending yang benar-benar penting membantu di lapangan. Jelas David tidak bisa komplain setelah mereka duduk, dia hanya mendatangi saya dan tertawa-tawa. Tapi saya malu luar biasa. Kejadian seperti ini sering terjadi, terburuk, malah ada yang sampai bilang, "biar aja kitman gak usah di lapangan duduknya".

Problem terbesar muncul bulan Agustus. Mendadak dari TC Jakarta, semua manajemen diminta PSSI keluar dari hotel. Katanya pengiritan. Saya sih setuju saja, tahunya setelah itu ternyata ada kabar mereka mencurigai manajemen timnas soal penggelapan dana. Saya tidak tahu siapa dan mengapa ataukah benar atau tidak, yang jelas, setelah manajemen mendadak dibekukan, saya ngotot terus bertanya-tanya ke semua orang. Tetapi tidak ada jawaban. Saya kesal, akhirnya saya mendatangi teman saya di EO bola, untuk bertanya, "apakah benar ada manajemen bermain dengan uang? Bukannya selama ini urusan selalu ke PSSI dulu?". Saya minta data, saya minta bukti, karena jika memang manajemen timnas ada yang melakukan itu, saya akan jadi ikut terseret rasa malu. Memang terkadang di lapangan kami meminta A, B atau C kepada EO, katakan, kami butuh makanan tambahan, tiket ke garuda, atau aqua tambahan, semuanya untuk proses TC pemain tapi tidak pernah soal uang. Ada perbedaan budget yang saya lihat di EO, tetapi itu mungkin kebijakan PSSI mengatur kelebihan dana untuk hal-hal yang tidak mau saya campuri tetapi masuk akal. Namun saya kaget luar biasa seputar rumor tersebut. Setelah nanya sana-sini dan memang tidak ada bukti aneh, akhirnya isu tersebut hilang sendiri. Problem berganti ke soal gaji manajemen. Katanya tidak ada persetujuan dari awal. Lah? Gimana? Kok dicairkan setiap bulan? Siapa yang tanda tangan di PSSI? Lalu muncul alasan sekjen lama dll. Saya sih nggak mau ambil pusing, saya pikir itu adalah alasan yang teramat bodoh dan tidak masuk akal. Dan betapa kagetnya saya ketika mendapat memo pemotongan gaji hingga hampir 80% tanpa memanggil sama sekali. Saya utarakan keberatan kepada atasan dan juga sekjen baru (via e-mail) tidak mendapat jawaban. Saya kesal, tapi saya katakan bahwa jika ada pemotongan gaji saya tidak akan protes karena pelatih juga mengalaminya. Tapi kalau 80% dan tidak ada pemanggilan, saya keberatan. Itu adalah hal terendah yang bisa dilakukan sebuah perusahaan, organisasi atau apapun yang berkedok profesional. Jelas sebagian besar manajemen menolak. Apalagi saya, gaji awal saya saja tidak segitu, tapi kami tetap terus meeting (kalangan manajemen). Saya tetap ngotot ke atasan minta dipertemukan dengan PSSI. Tetapi sampai sekarang hanya pihak atasan yang saling bertemu jadi saya tetap tidak jelas ada apa di sana. Saya sms beberpa petinggi PSSI, dijawab "masih nunggu rapat". Saya masih toleran untuk emnunggu jawaban. Tetapi ternyata sudah dipotong pun gaji saya cuman keluar 2 bulan sebelum pemotongan dan nominalnya sudah berubah. Saya terima dan bilang, "saya tetap mau gaji sebelum SK pemotongan dicairkan sebelum nominal awal". Tidak ada respons, malah semua manajemen gajinya ditunggak berbulan-bulan, dan mendadak tidak dilibatkan dengan kegiatan apapun. Saya kesal dan punya batas toleransi. Saya bilang ke atasan saya, saya akan keluar. I don't f*cking care, begitu istilahnya. Namun saya mendapat info bahwa akan dirapatkan ulang. Namun sudah berbulan-bulan (kebetulan saya sibuk dengan hal lain sementara ini diurus), saya mendapat telepon dari teman manajemen, bahwa mereka akan kembali menghidupkan BTN. Kita masing-masing ditanya ekspektasi gaji. Saya timbang-timbang, saya pikir-pikir.....setelah mengalami diinjak-injak seperti itu, saya putuskan malah saya tidak mau kembali. Teman-teman masih bertahan dan hingga sekarang saya tidak tahu nasibnya. Saya sendirian sih tegas memutuskan keluar, dan meminta gaji saya semuanya diselesaikan. Saya bilang ke teman-teman, saya merasa kayak dilempar-lempar, tidak dihargai, dan malah ketemu saja tidak mau. Jadi buat apa saya bertahan? Big NO. Tetapi meski sampai saya bersikeras memutuskan keluar, gaji saya tetap belum diselesaikan. Sms bendahara, beberapa kali dijawab, beberapa kali tidak. Meminta ketemu juga diabaikan. Akhirnya saya mati rasa. Ditawarkan teman bawa ke hukum, saya sudah malas dan akhirnya memutuskan, "saya nggak butuh mereka lagi".

Saya tahu teman-teman masih ingin di sana dan menghargai keputusan mereka. Saya sendiri memutuskan untuk move on. Saya juga tidak mau masalah ini dimanfaatkan pihak lain untuk lebih gontok-gontokan. Coba lihat saja, mereka semua lebih fokus untuk menang dan aman dari segi politis. PSSI dan KPSI sama-sama sibuk berjuang untuk perkara keabsahan federasi, lupa bahwa banyak pemain belum digaji, sistem belum sepenuhnya benar, dan masalah internal belum selesai. Kalau saya perhatikan ucapan-ucapan di sosial media, mereka kerap bicara seputar pihak federasi saingan. Mengejek, menuduh konspirasi, menyangkut pautkan segalanya kepada musuh, tetapi tidak mau memandang kasus internal. Mereka lupa bahwa inti awalnya adalah perubahan sistem internal baru menuju prestasi. Mereka benar-benar lupa dan sibuk dengan perkara politis. Orang seperti ini bisa dilihat dari tipikal mereka berbicara di sosial media, lebih banyak membela diri atau menyerang lawan, padahal mungkin aturan tim ke luar, bench, rules pertandingan saja belum tentu tahu.

Jujur, ada yang baru-baru ini menawarkan kembali, either ke A atau B (sekiataran mereka lah), tetapi saya tolak dan berpikir, saya mending jadi penonton bola seperti dulu dibanding kerja di dalamnya dengan orang-orang yang berat untuk saya percayai lagi. Lebih baik saya selamanya duduk di bangku penonton dan mendukung timnas, dibanding saya berada di bagian dalamnya tetapi saya tidak bahagia. Saya sih tidak akan melunturkan dukungan terhadap timnas, saya pernah bilang kan bahwa itu milik semua. Tetapi bekerja di dalamnya mungkin tidak lagi. Mendukung orang-orang sebelah, jelas tidak. Saya sudah banyak dengar juga tentang mereka. Saya menulis inipun bukan karena kesal masalah gaji atau apapun dengan PSSI, saya sekarang sudah hidup lebih tenang kok. Tapi hanya berbagi sebuah pengalaman berharga saya. I want to fall in love with football once again, keringatan ke GBK, teriak-teriak, dan ketawa-ketawa dengan teman. Itu sepertinya lebih sehat untuk saya. Mungkin saya bisa dikatakan gagal, saya mohon maaf untuk itu. Namun saya tetap berharap, ke depannya semua akan lebih baik, entah dengan solusi apa. Kasihan juga mendengar banyak pemain dan officials berbulan-bulan belum digaji sementara mata pencaharian mereka hanya di bola, berbeda dengan yang lain. Semoga ini bisa dibenahi secepatnya. Jika semua persoalan sudah selesai, mungkin mereka akan bermain tanpa beban kehidupan, dan pihak lain bisa mengembangkan strategi serta teknologi untuk membantu. Seharusnya seperti itu.

Well, goodbye PSSI, but i will always support our national team. Always will.....


~desyc 2013~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar